Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » HUKUM MERATAPI MAYIT

HUKUM MERATAPI MAYIT

Posted by Mutiara Islam on Tuesday, April 21, 2015


Kematian dalah sebuah kepastian yang tidak bisa dipungkiri lagi kebenarannya. Setiap anak Adam dimanapun berada pasti akan mengalaminya. Apabila Allah berkehendak mengambil nyawa seseorang maka tidak ada yang bisa lari darinya.Terkadang kematian menjemput tatkala seseorang masih muda belia bahkan saat masih bayi dan terkadang pula sudah tua renta.
Kematian adalah musibah yang besar yang akan menimpa semua mahluk yang bernyawa. Allah berfirman: “lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
Meskipun demikian, apabila kematian ini menimpa sanak keluarga, kerabat dekat dan orang-orang yang kita  cintai, bolehkah kita menangisinya sampai berhari-hari, dan terus-menerus meratapi sampai merobek-robek baju, apalagi jika sampai bunuh diri? Naidzubillah min dzlaik. Islam telah menjelaskan ini semua bahwa perbuatan tersebut tidak dibenarkan dan ini termasuk perbuatan jahiliah.
Meratapi mayit termasuk dosa besar
Meratapi mayit tergolong dosa besar yang bisa menjadikan  menjadikan pelakunya jatuh kedalam jurang lembah kekufuran karena mengandung perasaan sangat terpukul dengan keputusan Allah dan tidak rela dengan qodho’ dan qodar Allah. Rasulullah bersabda: “dua perkara yang menyebabkan manusia jatuh dalam kekufuran: mencela nasab dan meratapi kematian”. (H.R. Muslim).
Beliau juga mengancam orang yang meratapi dengan adzab yang pedih yaitu akan dipakaikan kepadanya baju yang terbuat dari cairan timah dan kudis. Beliau berkata: “orang yang meratapi mayit jika tidak bertaubat maka akan dipakaikan kepadanya baju dari caira timah dan baju dari kudis.” (H.R. Muslim).
Imam Ahmad berkata: “Niyahah (meratapi mayit) adalah maksiat.” Pengikut-pengikut Imam Syafi’I berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwa niyahah tidak diperbolehkan bagi laki-laki maupun perempuan.” (Umdatush Shobirin: 195)
Termasuk niyahah juga adalah semua ritual yang dilakukan oleh kelompok syi’ah pada tanggal 10 muharram. Pada hari itu mereka melukai diri mereka sambil membaca mantera-mantera tertentu dengann anggapan mengenang kematian Husen bin Ali, cucu rasulullah yang terbunuh di padan karbala (Irak) pada 61 H. sungguh itu adalah wujud niyahah yang diharamkan oleh Allah - . itulah salah satu warsan kaum jahiliya yang yang ditegaskan oleh Rasulullah-: “ada empat macam adat jahiliah yang masih terdapat dikalangan umatku dan masih belum mereka tinggalkan yaitu: berbangga-banga dengan tahta, menjelek-jelekan nasab seseorang, menggantungkan turunnya hujan pada nujum (bintang), dan niyahah.” (H.R. Muslim: 934).

Perbuatan-perbuatan yang termasuk niyahah
Diantar sikap yang termasuk niyahah adalah:
1.      Menangisi mayit dengan sedu-sedan sambil berteriak-teriak
Rasulullah bersabda: “sesungguhnya mayit itu diadzab karena tangisan keluarganya.” (H.R. Bukhori: 1286 dan Muslim: 927). Syekh al-Bani berkata: “Dalam hadist ini dijelaskan bahwa menangis yang disebut dalam hadist bukanlah semua tangisan melainkan tangisan khusus berupa meretapi mayit.” (Ahkamul Jana’iz: 41).
2.      Mengurai rambut, merobek baju, dan menampar wajah
Disebutkan dalam sebuah hadist: “pelajaran yang telah diajarkan Rasulullah- kepda kita dalam kebaikan adalah kita tidak boleh berbuat maksiat, menampar wajah, mendo’akan kejelekan, merobek baju, dan mengurai rambut.” (H.R. Abu Daud: 3131).
3.      Menyebut jasa-jasa kebaikan si mayit dengan penuh kesedihan dan penyesalan. (syarh Masa’il Jahiliyah: 243 msalah ke-90).

4.      Seruan-seruan jahiliyah
Misalnya ucapan “kami kehilangan tulang punggung keluarga”, “siapa yang akan menghidupi kami”, “hidup kami tergantung padamu”, “kamu masih terlalau muda mengapa begitu cepat meninggalkan kami”, “kamu adalah satu-satunya penopang hidup kami”, dan ucapan-ucapan yang senada.
Adapun perbuatan yang menjadi tradisi negeri kita dikalangan masyarakat sampai saat ini setelah meninggalnya mayit seperti tahlilan yaitu ritual/upacara selamatan yagn dilakukan untuk memperingati dan mendo’akan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Adapula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000. Dalam acara tersebut dibacakan surat yasin atau ayat-ayat tertentu, biasanya diakhiri dengan do’a kirim pahala untuk mayit dan acara yang paling terakhir adalah makan makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit. Ketahuilah, semua ritual semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah- begitu pula para sahabatnya. Dengan demikian semua perbuatan di atas merupakan hal yang baru dalam agama, sedangkan mengamalkan hal yang baru dalam agama amalanya tersebut tertolak.
Tahlilan atau membaca surat yasin agar pahalanya sampai kepada mayit, keyakinan seperti ini sangat bertentangan dengan firman Allah-: “Dan bahwasanya manusia tidak memperoleh selain apa yang telah di usahkannya.” (Q.S. an-Nur: 39).
Al-Imam ibu Kasir-berkata: dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dari ayat yang mulia ini Imam Syafi’I- dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang yang pahalanya dikirim kepada mayit tidak akan sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu, rasulullah tidak pernah menganjurkan kepada umatnya untuk mengamalkan amalan tersebut da tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatn tersebut. Kalau memang amalan semacam ini itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah- hanya terbatas yang ada nash-nash (dalil) nya dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat semata.” (tafsir ibnu Kasir:4/272).
Bahkan Imam Syafi’i –berkata: “aku tidak menyukai ma’tam yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit) meskipun di situ tidak ada tangisan karena hal itu justru akan menumbulkan kesedihan baru.” (al-Umm: 1/318).
Sikap dalam menghadapi kematian
Sikap yang harus ditampakkan ketika orang yang kita cintai meninggal dunia, baik itu orang tua, kerabat dan sanak saudara kita lainya adalah menyikapinya dengan dua hal:
1.      Sabar dan menerima takdir dan ketentuan Allah-
Yaitu menahan marah, menjaga lisan dari mengeluh dan tidak melakukan hal-hal yang membuat Allah –murka. Sebagaimana Allah- berfirman:
“dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Lukman: 17)
Dan sabar itu hanyalah pada hentakan pertama yaitu takkala ia mendengar berita kematian pertama kali maka ia langsung menyikapinya dengan sabar. Sabda Rasulullah “sesungguhnya kesabaran itu adalah pada hentakan yang pertama.” (H.R. al-BUKHARI: 1283 dan Muslim: 926). Maksudnya sabar yang diganjar pahala adalah adanya keteguhan hati ketika ada hal-hal yang menyedihkannya datang dan inilah sabar yang terpuji yaitu sabar yang langsung mengiringi datangnya musibah.” (fathul bari kitabul janaiz bab ziarah kubur).
2.      Istirja’
Yaitu mengucapkan  إنا لله وإنا إليه راجعون   Allh berfirman:
“dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekeurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang- orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “inna lillahi wa inna ilahi roji’un.” (Q.S. al-Baqarah: 155-156).
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta'âla, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta'âla membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta'âla berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta'âla akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya:

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang)kecuali denga izin Allâh;
barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs at-Taghâbun/64:11)


Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata: “Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta'âla, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta'âla), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta'âla tersebut, maka Allâh Ta'âla akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta'âla akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Meskipun Allâh Ta'âla dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta'âla dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini,Ibnul Qayyimrahimahullâh mengatakan:“Sesungguhnya semua (musibah) yang  menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta'âla senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta'âla telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya: ”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan”
(Qs an-Nisâ/4:104)
.
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta'âla."[6]
Demikianlah, marilah kita memohon kepada Allah- agar dijauhkan dari akhlak-akhlak tercela. Kita memohon pula semoga Allah-memberikan kesabaran dan ketabahan kepada kita semua tatkala musibah menimpa sanak saudara dan kerabat kita.

                                                                                                                                     

SHARE :
CB Blogger

Post a Comment

 
Copyright © 2015 Mutiara Islam. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger