Kematian dalah sebuah kepastian yang
tidak bisa dipungkiri lagi kebenarannya. Setiap anak Adam dimanapun berada
pasti akan mengalaminya. Apabila Allah berkehendak mengambil nyawa seseorang
maka tidak ada yang bisa lari darinya.Terkadang kematian menjemput tatkala
seseorang masih muda belia bahkan saat masih bayi dan terkadang pula sudah tua
renta.
Kematian adalah musibah yang besar
yang akan menimpa semua mahluk yang bernyawa. Allah berfirman: “lalu kamu
ditimpa bahaya kematian”.
Meskipun demikian, apabila kematian
ini menimpa sanak keluarga, kerabat dekat dan orang-orang yang kita cintai, bolehkah kita menangisinya sampai
berhari-hari, dan terus-menerus meratapi sampai merobek-robek baju, apalagi
jika sampai bunuh diri? Naidzubillah min dzlaik. Islam telah menjelaskan ini
semua bahwa perbuatan tersebut tidak dibenarkan dan ini termasuk perbuatan
jahiliah.
Meratapi mayit termasuk dosa besar
Meratapi mayit tergolong dosa besar
yang bisa menjadikan menjadikan
pelakunya jatuh kedalam jurang lembah kekufuran karena mengandung perasaan
sangat terpukul dengan keputusan Allah dan tidak rela dengan qodho’ dan qodar
Allah. Rasulullah bersabda: “dua perkara yang menyebabkan manusia jatuh
dalam kekufuran: mencela nasab dan meratapi kematian”. (H.R. Muslim).
Beliau juga mengancam orang yang
meratapi dengan adzab yang pedih yaitu akan dipakaikan kepadanya baju yang
terbuat dari cairan timah dan kudis. Beliau berkata: “orang yang meratapi mayit
jika tidak bertaubat maka akan dipakaikan kepadanya baju dari caira timah dan
baju dari kudis.” (H.R. Muslim).
Imam Ahmad berkata: “Niyahah
(meratapi mayit) adalah maksiat.” Pengikut-pengikut Imam Syafi’I berkata: “Para
ulama telah bersepakat bahwa niyahah tidak diperbolehkan bagi laki-laki maupun
perempuan.” (Umdatush Shobirin: 195)
Termasuk niyahah juga adalah semua
ritual yang dilakukan oleh kelompok syi’ah pada tanggal 10 muharram. Pada hari
itu mereka melukai diri mereka sambil membaca mantera-mantera tertentu dengann
anggapan mengenang kematian Husen bin Ali, cucu rasulullah yang terbunuh di
padan karbala (Irak) pada 61 H. sungguh itu adalah wujud niyahah yang
diharamkan oleh Allah - . itulah salah satu warsan kaum jahiliya yang yang
ditegaskan oleh Rasulullah-: “ada empat macam adat jahiliah yang masih
terdapat dikalangan umatku dan masih belum mereka tinggalkan yaitu:
berbangga-banga dengan tahta, menjelek-jelekan nasab seseorang, menggantungkan
turunnya hujan pada nujum (bintang), dan niyahah.” (H.R. Muslim: 934).
Perbuatan-perbuatan yang termasuk niyahah
Diantar sikap yang termasuk niyahah adalah:
1.
Menangisi mayit dengan sedu-sedan sambil berteriak-teriak
Rasulullah bersabda: “sesungguhnya
mayit itu diadzab karena tangisan keluarganya.” (H.R. Bukhori: 1286 dan
Muslim: 927). Syekh al-Bani berkata: “Dalam hadist ini dijelaskan bahwa
menangis yang disebut dalam hadist bukanlah semua tangisan melainkan tangisan
khusus berupa meretapi mayit.” (Ahkamul Jana’iz: 41).
2. Mengurai
rambut, merobek baju, dan menampar wajah
Disebutkan dalam sebuah hadist:
“pelajaran yang telah diajarkan Rasulullah- kepda kita dalam kebaikan adalah
kita tidak boleh berbuat maksiat, menampar wajah, mendo’akan kejelekan, merobek
baju, dan mengurai rambut.” (H.R. Abu Daud: 3131).
3. Menyebut
jasa-jasa kebaikan si mayit dengan penuh kesedihan dan penyesalan. (syarh Masa’il Jahiliyah: 243 msalah
ke-90).
4. Seruan-seruan
jahiliyah
Misalnya ucapan “kami kehilangan
tulang punggung keluarga”, “siapa yang akan menghidupi kami”, “hidup kami
tergantung padamu”, “kamu masih terlalau muda mengapa begitu cepat meninggalkan
kami”, “kamu adalah satu-satunya penopang hidup kami”, dan ucapan-ucapan yang
senada.
Adapun perbuatan yang menjadi tradisi
negeri kita dikalangan masyarakat sampai saat ini setelah meninggalnya mayit
seperti tahlilan yaitu ritual/upacara selamatan yagn dilakukan untuk
memperingati dan mendo’akan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan
pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada
hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Adapula
yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000. Dalam acara tersebut dibacakan surat
yasin atau ayat-ayat tertentu, biasanya diakhiri dengan do’a kirim pahala untuk
mayit dan acara yang paling terakhir adalah makan makanan yang dihidangkan oleh
keluarga mayit. Ketahuilah, semua ritual semacam ini tidak pernah dicontohkan
oleh Rasulullah- begitu pula para sahabatnya. Dengan demikian semua perbuatan
di atas merupakan hal yang baru dalam agama, sedangkan mengamalkan hal yang
baru dalam agama amalanya tersebut tertolak.
Tahlilan atau membaca surat yasin
agar pahalanya sampai kepada mayit, keyakinan seperti ini sangat bertentangan
dengan firman Allah-: “Dan bahwasanya manusia tidak memperoleh selain apa yang
telah di usahkannya.” (Q.S. an-Nur: 39).
Al-Imam ibu Kasir-berkata: dosa
seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak
dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dari ayat yang
mulia ini Imam Syafi’I- dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan,
bahwa bacaan yang yang pahalanya dikirim kepada mayit tidak akan sampai, karena
bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu, rasulullah tidak pernah menganjurkan
kepada umatnya untuk mengamalkan amalan tersebut da tidak pernah memberikan
bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang
sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatn tersebut. Kalau memang amalan
semacam ini itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan
ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah- hanya terbatas yang ada
nash-nash (dalil) nya dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan
pendapat-pendapat semata.” (tafsir ibnu Kasir:4/272).
Bahkan Imam Syafi’i –berkata: “aku
tidak menyukai ma’tam yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit) meskipun di
situ tidak ada tangisan karena hal itu justru akan menumbulkan kesedihan baru.”
(al-Umm: 1/318).
Sikap dalam menghadapi kematian
Sikap yang harus ditampakkan ketika
orang yang kita cintai meninggal dunia, baik itu orang tua, kerabat dan sanak
saudara kita lainya adalah menyikapinya dengan dua hal:
1. Sabar dan
menerima takdir dan ketentuan Allah-
Yaitu menahan marah, menjaga lisan
dari mengeluh dan tidak melakukan hal-hal yang membuat Allah –murka.
Sebagaimana Allah- berfirman:
“dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. sesungguhnya
yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Lukman: 17)
Dan sabar itu hanyalah pada hentakan
pertama yaitu takkala ia mendengar berita kematian pertama kali maka ia
langsung menyikapinya dengan sabar. Sabda Rasulullah “sesungguhnya kesabaran
itu adalah pada hentakan yang pertama.” (H.R. al-BUKHARI: 1283 dan Muslim:
926). Maksudnya sabar yang diganjar pahala adalah adanya keteguhan hati ketika
ada hal-hal yang menyedihkannya datang dan inilah sabar yang terpuji yaitu
sabar yang langsung mengiringi datangnya musibah.” (fathul bari kitabul janaiz
bab ziarah kubur).
2. Istirja’
Yaitu
mengucapkan إنا لله وإنا إليه راجعون Allh berfirman:
“dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekeurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang- orang yang sabar (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “inna lillahi wa inna ilahi
roji’un.” (Q.S.
al-Baqarah: 155-156).
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya
kepada Allâh Ta'âla, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga
masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh
atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat
kepada Allâh Ta'âla membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta'âla
berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh
Ta'âla akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan
dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya:
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang)kecuali
denga izin Allâh;
barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs at-Taghâbun/64:11)
barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh
berkata: “Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini
bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta'âla, kemudian
dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta'âla), disertai
(perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta'âla tersebut, maka
Allâh Ta'âla akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan
musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam
hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta'âla akan menggantikan apa yang hilang
darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]
Inilah sikap seorang Mukmin yang
benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Meskipun Allâh Ta'âla dengan
hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa
semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang
yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu
ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta'âla dalam menghadapi musibah
tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah
tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung
ini,Ibnul Qayyimrahimahullâh mengatakan:“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan
agama) Allâh Ta'âla senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan
pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki
maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua)
akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka
menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi
mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.
Adapun orang-orang kafir, mereka
tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb.
Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran
hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta'âla telah
mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya: ”Janganlah kamu berhati
lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka
sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu
menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan”
(Qs an-Nisâ/4:104).
(Qs an-Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir
sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan
dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta'âla."[6]
Demikianlah, marilah kita memohon
kepada Allah- agar dijauhkan dari akhlak-akhlak tercela. Kita memohon pula
semoga Allah-memberikan kesabaran dan ketabahan kepada kita semua tatkala
musibah menimpa sanak saudara dan kerabat kita.
Post a Comment