KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM
Minggu ini kita akan memasuki bulan suci Muharram di tahun
baru 1437 Hijriah. Seakan tidak terasa, waktu berjalan dengan cepat; pergantian
hari, pekan, bulan, dan tahun berlalu silih berganti seiring dengan bergantinya
siang dan malam.
Sebagai seorang hamba Allah tentu saja kita dituntut untuk
memanfaatkan umur kita dalam rangka beribadah kepada-Nya di segala bulan yang
ada, akan tetapi syariat Islam juga mengajarkan kepada kita bahwa ada beberapa
bulan yang memiliki keutamaan, karakteristik dan ibadah tertentu yang
dianjurkan padanya. Atas dasar itulah Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali
rahimahulloh menyusun kitabnya yang berjudul “Lathoif Al Ma’aarif Fiimaa
Limawaasimil ‘Aam minal Wazhoif”, kitab beliau ini merinci keutamaan
beberapa bulan yang ada beserta amalan-amalan sholeh yang dianjurkan padanya.
Bagaimana dengan bulan Muharram, apa saja keutamaannya dan
ibadah apa yang dianjurkan padanya? Semoga tulisan yang ringkas dan sederhana
ini bisa memberikan pencerahan bagi anda, wahai para pecinta sunnah Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam.
Penamaan Bulan Ini
Kata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr
ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan(jihad)
diharamkan pada bulan tersebut” (Tarikh Ad Dimasyq 1/51); jika saja jihad yang
disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut maka hal ini
bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala
memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan
ini.
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
a.
Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah
Ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa."
(Q.S. at Taubah :36).
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama
Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih
besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di
bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang
dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang
besar” (lihat Tafsir Al Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)
Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah
radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan keempat
bulan haram yang dimaksud :
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana
bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada
dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut;
Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab
Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]
Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki
keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun
demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara
keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa
ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya Allah telah memulai waktu yang setahun
dengan bulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram
(Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang
lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram” (Lihat : Lathoif Al Ma’arif
hal 36)
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah,
akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah
yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah)
Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam bersabda :
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling
utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. [ H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah
radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang
dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh
Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk disandarkan
pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap
makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi mesjid atau
lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh
‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan,
“Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara
seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan
Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah haramkan padanya
berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka
disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan
baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam
sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan Muharram” (lihat Hasyiah As
Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai)
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah
rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan
haram, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk
diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang
dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda,
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama
setelah puasa wajib adalah sholat lail”
[ HR. Muslim(11630) ]
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai
dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah
yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan
antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi
wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban bukan di bulan Muharram? Imam
Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa
Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur
yang menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti
beliau mengadakan safar atau sakit. [Lihat Al Minhaj Syarah Shohih Muslim bin
Hajjaj]
Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih
dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilah
Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan ini. ‘Asyuro berasal dari kata
‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu
alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk
ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal
dengan pua Asyuro.
Beberapa Pelanggaran Yang Sering Terjadi di Bulan Muharram
Beberapa Pelanggaran Yang Sering Terjadi di Bulan Muharram
Pada awal Muharram, yang kadang dikenal dengan
istilah 1 Suro, di tanah air sering diadakan acara ritual
dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah bahkan telah
terjatuh pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda yang
dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi
penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Sebagian lagi dari kaum
muslimin menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang keramat dan sakral,
sehingga menurut keyakinan mereka tidak boleh mengadakan hajatan besar
di bulan tersebut seperti pernikahan, membangun rumah dan lain-lain.
Di sisi lain ada juga di kalangan kaum muslimin menjadikan hari
‘Asyuro seperti layaknya hari lebaran, dimana mereka memperbanyak belanja
dapur pada hari tersebut seakan-akan mengadakan pesta atau berhari
raya. Sehingga di hari itu dikenal berbagai macam model makanan yang
dinamakan secara khusus dengan ‘Asyuro seperti bubur ‘Asyuro.
Perbuatan mereka ini didasari hadits yang diriwayatkan:
“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah) kepada
keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah akan melapangkan (rizkinya) selama
setahun itu” [ HR. Thobrani(10007) dan Baihaqi
di kitab Syu’abul Iman (3792) ]
Hadits ini telah dilemahkan oleh banyak ulama hadits, bahkan
ada yang menghukuminya sebagai hadits palsu. Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits
ini tidak memiliki asal, silakan lihat kitab Al Maudhu’at oleh ibnul Jauzi,
Ahadits Al Qushshash oleh Ibnu Taimiyah dan Al Fawaid Al Majmu’ah oleh
Syaukani.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dari
kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus dihindari
oleh setiap muslim dimanapun mereka berada karena Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang
Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya
atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan
sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan kecuali dengan
berpegang kepada keduanya dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi'in dan
penerus mereka yang setia berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya,
adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu
akan menghantarkan ke neraka, wal'iyadzubillah.
2.
Pada tanggal 10 Muharram 61 H, terjadilah tragedi berdarah yang memilukan dalam
sejarah Islam, yaitu terbunuhnya Husein radhiyallohu anhu cucu Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam di sebuah tempat yang bernama Karbala. Peristiwa
ini kemudian dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan
oleh pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki
pembunuhan tersebut.
Karena peristiwa berdarah ini maka kaum Syi’ah yang
mengklaim diri mereka sebagai pengikut ahlul bait menjadikan ‘Asyura sebagai
hari berkabung, duka cita dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan
penyesalan. Pada setiap ‘Asyura kaum Syi’ah di seluruh dunia termasuk di negeri
kita memperingati kematian Husein radhiyallohu ‘anhu dengan melakukan
perbuatan-perbuatan tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Husein secara
secara histeris, memukuli tubuh dan wajah mereka, bahkan ada yang sampai tega
melukai diri dan anak-anak kecil dengan senjata tajam pada hari tersebut.
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu anhu memang sangat
tragis dan memilukan bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, dan
kita tentu mencintai keluarga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi
terhadap orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu
jangan sampai membawa kita larut dalam kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan
sebagai bentuk duka dengan yang memukul-mukul diri, menangis apalagi sampai
mencela shahabat Rasulullah yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan
keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok Syi'ah yang
mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga
Rasulullah), pdahal kenyataanya tidak demikian. Meratapi musibah kematian
diharamkan, siapapun yang meninggal dunia bahkan kepada Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam pun kita dilarang memperingati dan meratapi wafat beliau.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
“Ada empat perkara yang terdapat pada ummatku
termasuk, termasuk perbuatan kaum Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan:
Menyombongkan kebangsawanan, mencela nasab, meminta hujan dengan
bintang-bintang dan meratap”. Beliau berkata, “Orang yang meratapi kematian
jika dia belum taubat sebelum meninggal dunia maka akan dibangkitkan pada hari
kiamat dengan berpakaian hitam yang terbuat dari ter dan baju besi yang
berkudis” (HR. Muslim(1550) dari sahabat Abu
Malik Al Asy’ari radhiyallohu anhu)
Khatimah
Khatimah
Inilah
pembahasan ringkas dan sederhana berkaitan dengan bulan suci nan agung
Muharram, semoga kita selalu diberi taufiq dan dibimbing oleh Allah subhanahu
wata’ala ke jalan-Nya yang lurus serta mendapatkan keridhaan dan ampunan-Nya,
dan dimudahkan dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam di segala tempat dan di sepanjang waktu serta dijauhkan dari segala
bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat yang suci ini, amin ya
rabbal 'alamin.
Wallohu Waliyyut Taufiq
Wallohu Waliyyut Taufiq
Post a Comment