Bolehkah memutuskan hidup membujang?
Apakah ada larangan membujang dalam Islam?
Sudah jelas perintah untuk menikah.
Namun bagaimana jika sebagian pria atau wanita memutuskan untuk hidup
membujang? Apakah ada larangannya?
Larangan Tabattul
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu
‘anhu pernah berkata,
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ
لاَخْتَصَيْنَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak mengizinkan ‘Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup
membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan tentu kami (akan bertabattul)
meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.” (HR.
Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 1402).
Disebutkan dalam Ensiklopedia
Fikih terbitan Kementrian Agama Kuwait pada juz 8 halaman 13, tabattul
secara bahasa berarti memutus. Sedangkan orang yang mengasingkan diri dengan
tujuan beribadah disebut dengan al mutabattil.
Dalam Subulus Salam (juz 6,
halaman 10) karya Ash Shan’ani, disebutkan bahwa tabattul adalah enggan
menikah karena memutuskan untuk sibuk beribadah pada Allah.
Disebutkan pula oleh Ibnu Hajar Al
Asqolani menyatakan pula hal yang sama. Beliau berkata,
الْمُرَاد بِالتَّبَتُّلِ هُنَا
الِانْقِطَاع عَنْ النِّكَاح وَمَا يَتَّبِعهُ مِنْ الْمَلَاذ إِلَى الْعِبَادَة
“Yang dimakusd tabattul
adalah meninggalkan menikah karena sibuk untuk ibadah.” (Fathul Bari, 9:
118)
Setelah itu, Ibnu Hajar menyebutkan
perkataan Ath Thobariy bahwa tabattul yang dimaksudkan oleh ‘Utsman bin
Mazh’un adalah mengharamkan pada diri untuk menikahi wanita dan enggan
mengenakan wewangian serta segala sesuatu yang menyenangkan. Karenanya turunlah
ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.”
(QS. Al Maidah: 87).
Haram Hidup Membujang
Ketika menjelaskan salah satu hadits
dalam kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al Asqolani pada bahasan Nikah,
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhahullah menyebutkan, “Terlarang
melakukan tabattul yaitu meninggalkan untuk menikah dikarenakan ingin
menyibukkan diri untuk beribadah dan menuntut ilmu padahal mampu ketika itu.
Larangan di sini bermakna tahrim (haram).” (Minhatul ‘Allam, 7:
182).
Pernah ada di antara sahabat ada
yang punya tekad untuk enggan menikah karena ingin sibuk dalam ibadah. Anas bin
Malik berkata,
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ
أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا
فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا
أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ
الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ
أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ «
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ
لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى
وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
»
“Ada tiga orang yang pernah datang
ke rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya
tentang ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka
diberitahu, tanggapan mereka seakan-akan menganggap apa yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa-biasa saja.
Mereka berkata, “Di mana kita
dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dosa
beliau yang lalu dan akan datang telah diampuni.”
Salah satu dari mereka lantas
berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam selamanya.”
Yang lain berkata, “Saya akan
berpuasa terus menerus, tanpa ada hari untuk tidak puasa.”
Yang lain berkata pula, “Saya akan
meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas berkata, “Kaliankah yang berkata demikian dan demikian.
Demi Allah, aku sendiri yang paling takut pada Allah dan paling bertakwa
pada-Nya. Aku sendiri tetap puasa namun ada waktu untuk istirahat tidak
berpuasa. Aku sendiri mengerjakan shalat malam dan ada waktu untuk tidur. Aku
sendiri menikahi wanita. Siapa yang membenci ajaranku, maka ia tidak
termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401)
Yang dimaksud hadits ‘siapa yang
membenci ajaranku …’ sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar,
مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ
بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Siapa yang meninggalkan jalanku,
lalu menempuh jalan selainku, maka tidak termasuk golonganku.” (Fathul Bari,
9: 105)
Berarti menikah termasuk ajaran
Islam dan tak boleh dibenci. Ajaran Islam yang disebutkan dalam hadits
mengandung maslahat yang besar. Disebutkan kembali oleh Ibnu Hajar,
وَطَرِيقَة النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَنِيفِيَّة السَّمْحَة فَيُفْطِر لِيَتَقَوَّى عَلَى
الصَّوْم وَيَنَام لِيَتَقَوَّى عَلَى الْقِيَام وَيَتَزَوَّج لِكَسْرِ الشَّهْوَة
وَإِعْفَاف النَّفْس وَتَكْثِير النَّسْل
“Jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah lurus dan memberikan banyak kelonggaran. Dalam ajaran beliau
masih dibolehkan tidak puasa, supaya benar-benar kuat jalani puasa. Dalam Islam
masih boleh tidur supaya kuat menjalani shalat malam. Dalam Islam diperbolehkan
pula untuk menikah untuk mengekang syahwat, menjaga kesucian diri dan
memperbanyak keturunan.” (Fathul Bari, 9: 105)
Beda dengan Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi
Sebagaimana dalam Al Fiqhu Al
Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i (2: 14-15) yang di antara
penulisnya adalah Syaikh Musthofa Al Bugho hafizhahullah, disebutkan
keadaan orang yang membujang. Berikut rinciannya:
- Membujang karena tak punya keinginan untuk menikah, bisa jadi karena dilihat dari fitrahnya, atau karena sakit, atau karena tidak mampu memberi nafkah padahal dalam nikah ada keharusan memberi mahar dan nafkah.
- Membujang karena terlalu sibuk dengan ibadah dan menuntut ilmu diin, dan nikah dapat membuatnya lalai dari hal itu. Walau dari segi finansial, ia sudah mampu untuk menikah.
- Membujang dalam keadaan mampu untuk menikah secara finansial dan ia tidak disibukkan dengan ibadah dan menuntut ilmu diin (agama).
Untuk kondisi pertama, dimakruhkan
untuk menikah.
Untuk kondisi kedua, lebih baik
tidak menikah karena adanya maslahat yang besar.
Untuk kondisi ketiga, lebih baik
untuk menikah.
Demikian intisari dari penjelasan
dalam Al Fiqhu Al Manhajiy.
Adapun keadaan Ibnu Taimiyah begitu
pula Imam Nawawi yang tidak menikah hingga meninggal dunia karena mereka
tersibukkan pada jihad dengan ilmu. Keadaan mereka masuk dalam kondisi kedua
sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Anda sendiri yang hidup membujang
bisa menilai masuk pada kondisi yang mana? Jangan-jangan Anda cuma menghabiskan
waktu muda Anda dengan sia-sia dan tak punya karya apa-apa seperti Imam Nawawi
dan Ibnu Taimiyah.
Hanya Allah yang memberi taufik dan
hidayah.
Referensi:
- Al Fiqhu Al Manhajiy ‘ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, ‘Ali Asy Syarbajiy, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
- Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
- Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Maram, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.
- Subulus Salam al muwshilah ila Bulughil Maram, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shan’ani, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.
—
Selesai disusun di Jumat pagi, 7
Jumadats Tsaniyyah 1436 H di Darush Sholihin
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Post a Comment