Berbenah Diri Menyambut Bulan
Ramadhan
Allah Ta’ala telah mengutamakan sebagian waktu
(zaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan sebagian manusia
di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat lainnya.
Allah
Ta’ala berfirman,
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia
kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS
al-Qashash:68).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di
atas, beliau berkata, “(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi
seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan
kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya),
baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat”.
(Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan”: hal. 622).)
Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah Ta’ala
utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya
sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu
rukun Islam.
Sungguh Allah Ta’ala memuliakan bulan yang penuh
berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar untuk menggapai
kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta’ala
yang bertakwa untuk shaum”,berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan
mendekatkan diri kepada-Nya. (syaikh
‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad – semoga Allah menjaga beliau dalam kebaikan, “al-‘Ibratu
fi syahrish shaum: 5)
Bagaimana Seorang Muslim Menyambut Bulan
Ramadhan?
Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya
dilipatgandakan amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung,
di buka pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka. HR. al-Bukhari (no.
3103) dan Muslim (no. 1079).
Oleh
karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga yang ditunggu-tunggu oleh
orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan ingin meraih ridha-Nya.
Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan kedatangan bulan yang penuh
berkah ini. (Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”: 174).
Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan
kabar gembira kepada para sahabatnya, “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh
keberkahan, Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga di buka
pada bulan itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan dibelenggu. Pada
bulan itu terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih baik dari
seribu bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam
itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung)”. (HR Ahmad
(2/385), an-Nasa’i (no. 2106) dan lain-lain).
Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadits ini, beliau
berkata, “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya
pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin
bertobat serta kembali kepada Allah Ta’ala) tidak gembira dengan
ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak
gembira ketika para setan dibelenggu?. (“Latha-iful ma’aarif”: 174).
Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya
bulan Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar
mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan
nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Ta’ala.
Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala
(selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan,
kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia
menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)”. (Ibnu Rajab al-Hambali
dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”: 174).
Maka hendaknya seorang muslim mengambil teladan dari para
ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh
berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan
serta keridhaan dari Allah Ta’ala, agar di akhirat kelak mereka akan
merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah Ta’ala
dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan
(besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu
Allah”. (HR. al-Bukhari: 7054 dan Muslim: 1151).
Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah
dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk
persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan
dengan mengikuti berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan
melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala dari pada manfaat yang
diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya.
Tapi persiapan
yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk
melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan
dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang
sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang dikerjakan
manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau kurangnya
keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. (Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. “Shifatu
shalaatin Nabi: 36)
Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat,
tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali
sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya,
seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya”. (HR. Ahmad:
4/321, Abu Dawud: 796 dan Ibnu Hibban: 1889).
Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Terkadang orang yang berpuasa tidak
mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga saja”. (HR Ibnu
Majah: 1690, Ahmad: 2/373, Ibnu Khuzaimah: 1997 dan al-Hakim:1571).
Meraih Takwa dan Kesucian Jiwa dengan Puasa
Ramadhan
Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk
mencapai takwa kepada Allah Ta’ala, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin,
Tafsiirul Qur’anil kariim”: 2/317).
Bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang
muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah Ta’ala. (“Manhajul
Anbiya’ fii tazkiyatin nufuus”: 19-20).
Allah
Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertakwa”. (QS al-Baqarah:183).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala
berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk
(melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan
hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala (semata),
karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa,
serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah
laku yang tercela”. ( Tafsir Ibnu Katsir”: 1/289).
Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan
unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:
–
Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah (ketika
berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya, yang
semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini
adalah termasuk takwa (kepada-Nya).
–
Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah
(selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala), maka dia meninggalkan apa
yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), karena dia
mengetahui Allah maha mengawasi (perbuatan)nya.
–
Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan (dalam
diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh manusia di tempat
mengalirnya darah. (HR al-Bukhari: 1933 dan Muslim: 2175). maka dengan berpuasa
akan lemah kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut.
–
Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta’ala),
dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.
–
Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka
akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang
miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa. (Taisiirul Kariimir
Rahmaan”: 86).
Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan
membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya
sifat sabar.
Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat
sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim menggambarkan
hal ini dalam ucapan beliau, “Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam
keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada
tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya”. (al-Fawa-id”:
97).
Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa,
bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih menamakan bulan
puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran). Bahkan Allah menjadikan
ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Semua amal (shaleh yang
dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi
ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman:
“Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya puasa itu
(khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya”.
(HR al-Bukhari: 1805 dan Muslim: 1151),
Demikian
pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan
(ganjaran) pahala mereka tanpa batas” (QS az-Zumar:10).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan
puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau,“Sabar itu ada tiga macam: sabar
dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal
yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang
tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya)
terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar
dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan
syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam
(menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang
yang berpuasa”: (Latha-iful ma’aarif”: 177).
Penutup
Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan
Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala
dan mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk
bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan
diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan
bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang
disyariatkan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat)
yang menyerukan: Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu),
dan wahai orang yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”. (HR
at-Tirmidzi: 682, Ibnu Majah: 1642, Ibnu Khuzaimah: 1883 dan Ibnu Hibban: 3435).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر
دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Post a Comment